Blog Archives

JAVA HEAT: Sarat Aksi, Kesampingkan Jalan Cerita (Review)

java-heat-poster01

Rating 5/10

Java Heat merupakan film keempat dari Connor Allyn sutradara pembuat trilogy Merah Putih yang pada 2009 sempat menjadi film Indonesia berbujet paling besar. Belum cukup dengan film berlatar belakang sejarah Indonesia, rupanya stradara kelahiran Amerika ini masih ingin mengeksplore cerita tentang Indonesia.

Walaupun bisa dikatakan cerita dan konflik dalam film yang berdurasi sekitar satu setengah jam ini tidak terlalu istimewa dan cenderung mudah ditebak. Namun aksi-aksi para pemain dan efek ledakan yang jarang ditampilkan di film Indonesia manjadi lebih istimewa apalagi keseluruhan syuting film ini dilakukan di Indonesia.

Film ini dimulai dengan adegan seorang warga Amerika Jake Travers(Kellan Lutz) yang ditangkap karena berada di tempat terjadinya ledakan bom di Keraton Jogja. Polisi bernama Hashim (Ario Bayu) menginterogasi Jake Travers yang mengaku sebagai dosen seni disalah satu perguruan tinggi. Namun di saat terjadi insiden yang di dalangi oleh Malik (Mickey Rourke) mengancam nyawa Jake dan Hashim, Hashim tidak percaya dengan profesi Jake yang begitu lihai memainkan senjata.

Jake yang mempunyai misi menghentikan tindak tanduk Malik, harus terlibat konflik politik di Jogja. Sultana (Atiqah Hasiholan) puteri keraton Jogja yang dikira meninggal dalam ledakan bom di keraton ternyata masih hidup dan disandera oleh pihak Malik serta melibatkan anggota keluarga keraton. Tak Cuma Sultana, anak dan isteri Hashim pun ikut dalam sekapan Malik dan kelompoknya. Hingga akhirnya mau tidak mau Hashim dan Jake harus mengejar Malik dan membebaskan Sultana dan anggota keluarga Hashim.

Seperti halnya film-film aksi dari Hollywood, Film ini cukup bisa dinikmati sebagai film hiburan tanpa harus mementingkan alur cerita. Banyak nya adegan tembak-tembakan, kejar-kejaran dan ledakan rupanya menjadi elemen utama dari film ini yang bisa dibilang tidak terlalu buruk.

Dari segi akting Ario Bayu paling menonjol serta bermain sangat bagus dan mampu mengimbangi akting Kellan Lutz yang notabene lebih berpengalaman di Hollywood. Sementara  aktor Indonesia lainnya tampaknya tidak terlalu istimewa dalam penampilannya walaupun juga tidak terlalu mengecewakan.

Banyaknya kejanggalan dalam detail cerita seperti ketika Mike Lucock yang memerankan santri harus pergi ke tempat hiburan malam dengan pakaian santrinya. Kemudian penggambaran Keraton Jogja seakan-akan mempunyai kedaulatan penuh dan mempunyai tentara tersendiri dengan memberikan senjata api bagi para prajuritnya.

Terlepas dari itu, kita patut apresiasi para pembikin film Java Heat ini yang mencoba mengangkat tema tentang Indonesia dan melibatkan para pelaku film tanah air.

IMAG0898-1

Genre Action
Language English & Indonesian
Director Connor Allyn
Cast Kellan Lutz, Ario Bayu, Mickey Rourke
Release Date 18 April 2013

CINTA TAPI BEDA: Kisah Seimbang Beda Agama (Review)

Bicara perbedaan agama kadang bisa menjadi hal yang sensitif jika tidak bisa menempatkan pada porsi yang seimbang. Hanung Bramantyo kembali membuat sebuah film dengan tema perbedaan agama, setelah di tahun 2010 sempat membuat heboh masyarakat Indonesia dengan film kontroversinya yang berjudul “?”. Di penghujung tahun 2012 Hanung bersama Hestu Saputra (Dapunta: Pengejar Angin) yang tak lain adalah anak didiknya di Dapur Film membuat Cinta Tapi Beda. Sebuah kisah cinta beda agama yang dikemas lebih ringan dari “?” dengan tidak meninggalkan ciri khas Hanung yang banyak diselingi humor.

Cerita seperti ini bukanlah hal yang baru di industri film kita. Sebut saja film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta film arahan Benny Setiawan yang memenangkan piala Citra 2010 juga berkisah tentang cinta beda agama. Menarik memang premis kisah cinta beda agama ditengah keberadaan masyarakat yang majemuk.

Ada kejanggalan tersendiri sebenarnya ketika kita disuguhkan cerita Cahyo Fadholi  (Reza Nangin) yang notabene taat beribadah dan pemeluk Islam yang cukup kuat harus berani bertaruh dan memilih cinta beda keyakinan. Demikian pula dengan Diana (Agni Pratista) yang berlatar belakang agama Katolik yang kuat. Tapi sekali lagi ini adalah sebuah cerita, tanpa ada konflik sepertinya kurang menarik.

Lagi-lagi saya harus membandingkan film ini dengan 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta dimana elemen komedi dan drama yang menyentuh bisa ditempatkan dengan baik. Dalam Cinta Tapi Beda sepertinya masih ada hal-hal yang kurang bisa digali seperti konflik dan elemen yang menyentuh sebagai sebuah drama percintaan dengan konflik yang seharusnya berat.

Reza Nangin sebagai pendatang baru tidaklah mengecewakan dalam berakting, walaupun dihal-hal akting yang serius agak kurang maksimal. Dia justru lebih pas dan berhasil ketika dia melakukan akting dalam dialog yang humoris dan joke-joke pengundang tawa. Sementara Agni Pratista bermain cukup natural namun tidak ada yang istimewa dalam penampilannya walaupun banyak adegan tari yang diperagakannya.

Hanung sendiri sepertinya juga mencari aman dengan menyeimbangkan dua unsur agama dalam porsi yang masing-masing tidak berlebihan dan mengembalikan akhir kisah kepenonton sendiri, dan ini cukup bijak.

Rating 2.8/5

RUMAH DI SERIBU OMBAK: Toleransi Beragama Dengan Toleransi Yang Tidak Biasa (Review)

Kisah toleransi antar umat beragama yang diangkat ke layar lebar memang sudah sering tampil di industri Sinema Indonesia. Namun kisah persahabatan kakak beradik Samihi (Risjad Aden) dan Syamini (Bianca Oleen)  yang beragama Muslim  Wayan Manik atau Yanik (Dedey Rusma) yang beragama Hindu belum pernah digarap sebelumnya oleh sineas lokal. Ketiga sahabat itu tinggal di Singaraja Bali. Sebuah perkampungan di Bali dengan penduduk yang begitu toleran.

Persahabatan mereka dimulai ketika Samihi diganggu oleh dua anak nakal ketika sedang bermain di pantai. Yanik menolong Samihi dan pertemuan mereka berlanjut menjadi sebuah persahabatan. Banyak elemen menyentuh yang coba dibangun oleh Erwin Arnada sebagai sutradara film ini dan sekaligus penulis Novelnya. Namun dalam eksekusinya banyak yang tidak tersampaikan sebagai contoh ketika Bom Bali memakan korban ayah Yanik, seharusnya penonton bisa diajak bersimpati terhadap Yanik walau sudah lama ditinggal oleh ayahnya tersebut. Pada kenyataanya sebuah adegan datar yang menggambarkan sekelompok warga berkumpul memberitahukan ayah Yanik sebagai korban.

Selain isu toleransi yang melatarbelakangi kisah Rumah Di Seribu Ombak ini, beberapa isu juga disisipkan dalam film yang berdurasi satu setengah jam ini diantaranya kasus phedopilia yang dialami Yanik, dampak bom Bali serta isu kemiskinan yang menghambat pendidikan. Terlepas dari itu, kesan yang kurang mendalam dan kurang maksimal dalam penyelasaian konflik cinta antara Yanik remaja dan Syamini remaja juga menambah nilai kurang dari film ini. Kisah percintaan mereka kurang terekplorasi dengan baik, sehingga terkesan hanya tempelan belaka.

Sepertinya Erwin Arnada ingin bermain-main dengan warna dalam film ini. Hampir keseluruhan tampilan gambar film ini didominasi oleh warna Sephia dari awal hingga hampir penghujung film. Walaupun mungkin pembuat film ingin mengasumsikan film ini merupakan film flash back dari kehidupan Samihi, namun agak disayangkan keindahan pulau Dewata yang colourful menjadi terasa hambar.  Dari segi akting para bintangnya, para pendatang baru film ini tidaklah mengecewakan bahkan bisa dibilang cukup apik dan natural. Pemeran Samihi dan Yanik kecil cukup menyita perhatian dan berhasil membangun chemistry dengan baik. Begitupun Lukman Sardi sebagai ayah Samihi dan Syamini, sepertinya sudah tidak diragukan lagi kualitas aktingnya.

Sebagai film hiburan Rumah Di Seribu Ombak cukup menghibur dan memberi inspirasi serta pesan moral kepada penonton film ini.

Rating  5/10

Sutradara Erwin Arnada
Penulis Jujur Prananto
   
Pemeran Lukman Sardi, Risjad Aden, Bianca Oleen, Dedey Rusma
Production House TABIA FILMS & WINMARK PICTURES
Tanggal rilis 30 Agustus 2012